Oleh
: Ratna Wahyuni, S.Sos
Unit Kerja : SMP Negeri 2 Jember
Jember , 19 April 2020
Corona Virus Disease 19 (COVID-19) barangkali menjadi krisis terbesar yang terjadi
padah generasi kita. Melansir dari laporan real-time Jhons Hopkins University
& Medicine, memasuki bulan April 2020 tercatat sudah 181 Negara yang
terinfeksi virus yang belum ada vaksinnya ini.
Banyak tindakan darurat yang diterapkan oleh pemerintahan di berbagai negara untuk memutus rantai penyebaran virus Corona, termasuk pemerintah Indonesia. Salah satu kebijakan
darurat yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan mengeluarkan arahan untuk merubah sistem pembelajaran di semua instansi pendidikan. Kegiatan Belajar Mengajar
(KBM) dilakukan
secara daring
dari rumah sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Kemajuan teknologi internet disatu sisi telah memudahkan umat manusia untuk berinteraksi tanpa harus bertatap muka secara langsung. Dalam hal pemakaian internet, menurut
riset platform manajemen media
sosial HootSuite dan agensi marketing sosial We
Are
Social bertajuk "Global Digital Reports 2020", sebanyak 175,4 juta
atau hampir 64 persen penduduk Indonesia
sudah terkoneksi dengan jaringan
internet.
Kondisi seperti ini jelas ada
beberapa poin
keuntungan ataupun
kerugian yang dihasilkan
bagi
Sistem Pendidikan Nasional
di Indonesia. Dalam
sistem pendidikan
sekarang, berkembangnya ideologi pasar merupakan
konsekuensi dari kebijakan sistem Pemerintahan
Indonesia yang
berpihak pada kapitalisme global. Pemaksaan penerapan hukum Neoliberalisme pada dunia pendidikan,
berdampak pada liberalisasi
pendidikan.
Banyak yang berekspektasi bahwa datangnya virus Corona membawa berkah berupa terwujudnya
tatanan Sosialisme di dunia.
Optimisme ini terbangun karena melihat bahwa ekonomi dunia sedang menghadapi keruntuhan. Corona
membawa tekanan ekonomi yang mengharuskan tatanan
kapitalisme
lama untuk runtuh.
Era neoliberalisme yang selama ini
menjadikan pendidikan sebagai komoditi bisnis pun
kabarnya sedang diambang
keruntuhan. Lihat saja, kebijakan pembatasan sosial (social distance)
di Indonesia mengharuskan para pelajar hingga mahasiswa untuk
tidak datang ke
sekolah. Mulai bermunculan nada-nada protes untuk pengembalian SPP/UKT, penghapusan UN (pada akhirnya
dipercepat), penghapusan Skripsi, dsb. Selama ini, SPP/UKT, UN dan Skripsi menjadi wujud nyata darih komersialisasi di sektor pendidikan.
Namun, ditengah wabah virus Corona
ini nyatanya praktik pendidikan di Indonesia tak juga menyenangkan. KBM hanya sekedar dipindahkan dari yang
sebelumnya dilakukan secara
tatap muka di kelas nyata, sekarang
bertatap muka u di kelas maya dengan jumlah murid yang sama. Tugas sekolah atau perkuliahan yang
sebelumnya diberikan di kelas dan dikumpulkan di meja guru, sekarang
dikumpulkan via email atau media sosial sang guru. Uang yang
biasanya digunakan untuk
ongkos transportasi
ke sekolah, sekarang digunakan untuk
membeli kuota internet yang lebih besar agar mampu
mengikuti pembelajaran
daring tanpa 'lemot'.
Dalam perjalanannya banyak
keluhan-keluhan yang
bermunculan. Para mahasiswa
mengeluh karena UKT-nya sudah terlanjur dibayarkan penuh tapi tidak dapat menggunakan fasilitas kampus
sama sekali selama
1
semester ini.
Beberapa
diantara mereka menuntut kampusnya untuk merelokasi anggaran fasilitas kampus menjadi subsidi untuk
membeli kuota internet.
Ada yang disetujui,
ada yang ditolak
mentah-mentah oleh Rektorat
kampusnya. Kemudian, para
guru
dan tenaga
pendidik
honorer juga mengeluh karena gajinya
tidak
dibayarkan
oleh
sekolah
dengan
alasan
yang digaji hanya guru tetap yang
memberikan pembelajaran daring ke siswa. Sedangkan bagi mereka yang tidak memberikan pembelajaran
daring ke siswa tidak digaji.
Belum lagi tidak meratanya infrastruktur
seperti listrik, jaringan internet dan kepemilikan
gawai di kalangan masyarakat
menjadi penghalang
untuk melakukan pembelajaranu daring hingga
ke pelosok negeri. Ketika ini tidak diselesaikan dengan
segera
maka ketimpangan
kualitas pendidikan akan semakin tinggi dan liberalisasi di sektor pendidikan semakin ugal-
ugalan.
Ketika Mendikbud menerbitkan Surat Edaran tentang Pembelajaran secara Daring dan Bekerja
dari Rumah untuk Mencegahu Penyebaran Covid-19 kemarin saja,
coba pikirkan bagaimana ekspresi kebingungan yang tampak dari saudara-saudara kita di ujung Papua
sana? Atau bagaimana dengan mereka yang berada di pedalaman Sumatera dan Kalimantan, yang
listrik pun jarang
hidup apalagi internet? Kenapa didalam Surat Edaran tersebut tidak menyinggung
sedikitpun tentang
alternatif pembelajaran seperti apa yang dapat mereka lakukan ditengah wabah
ini?
Kondisi ini nyatanya tidak menguntungkan kita sama sekali. Justru disamping keluhan-
keluhan tersebut, para
borjuasi sedang berpesta karena pundi-pundi uangnya bertambah. Forbes mencatat ada 178 orang yang kini menjadi miliarder akibat pandemi ini. Salah satunya adalah
Eric Yuan, pendiri aplikasi telekonferensi Zoom Video
Communications. Dalam
3 bulan terakhir (Januari-Maret), kekayaan Eric
bertambah
USD
4 miliar atau
di kisaran Rp 66 triliun. Adapun
harta totalnya diestimasi sudah mencapai USD 7,5 miliar berdasarkan kepemilikan saham di
Zoom.
Maklum, Zoom kini memang
jadi aplikasi paling populer di tengah keterbatasan gerak
orang-orang di luar rumah. Zoom jadi aplikasi andalan yang digunakan orang untuk bekerja di
rumah, mengadakan kelas daring, hingga
sekadar berinteraksi dengan kerabat di negara-negara yang melarang warganya keluar rumah guna mencegah
penyebaran virus corona.
Kondisi seperti ini sebenarnya bisa
saja menjadi momentum untuk mewujudkan
cita-cita
"Semua orang itu guru, alam raya sekolahku"
seperti yang sering dinyanyikan para musisi berhaluan sosialis. Dengan sistem daring seharusnyau materi-materi pembelajaran bisa diakses secara merata
oleh semua masyarakat dari
berbagai lapisan sosial.
Bayangkan, anak petani, anak tukang
becak, anak pemulung, anak pengamen, semuanya bisa
mengakses pendidikan dari para guru
dan
tenaga pendidik profesional secara bebas selagi mereka
punya
gawai
dan
terhubung jaringan
internet.
Dari situ
nantinya
generasi-generasi bangsa
dapat tercerdaskan dan menjadi tonggak dalam membangun kemandirian perekonomian nasional. Kuliah Online karena Corona seharusnya
bisa merealisasikan konsep Merdeka
Belajar secara seutuhnya. Gagasan untuk mewujudkan sistem pendidikan nasional yang
demokratis dan
dapat
diakses
oleh seluruh masyarakat Indonesia akan
menemukan titik terangnya.
Konsep Merdeka
Belajar
yang dihasilkan dari
skema
pembelajaran daring ini akan memuat 3 unsur, yakni "gratis, ilmiah, dan demokratis (tidak diskriminatif)". Konsep ini tentu
lebih progresif ketimbang konsep yang diluncurkan
oleh Kemendikbud RI hingga 3 episode
itu. Konsep yang telah disusun pemerintah kedepannya memang terlihat akan memerdekakan proses berpikir, para siswa senang karena UN dihapuskan. Namun konsep itu bukanlah merdeka belajar dalam
mengenyam
pendidikan.
Tetap saja orang
miskin dilarang sekolah.
Apabila secara konvensional pendidikan hanya dapat diakses oleh segelintir orang saja di
bangku
sekolah, dengan
sekolah atau
Kuliah
daring setiap
anak
bangsa
harusnya dapat
menikmati
pendidikan tanpa diskriminasi.
Inilah konsep merdeka belajar yang dicita-citakan oleh kaum
tertindas. Opsinya saya rasa akan bermuara pada 2
hal
yaitu
1.
Sekolah konvensional
akan
ditutup lalu dirubah
total
menjadi
sistem sekolah daring, atau
2. Pemerintah harus memberi legitimasi status
akademik kepada penyelenggaraan pendidikan
daring agar
dihitung juga sebagai
bentuk pendidikan formal.
Kalau skema ini dijalankan, maka tatanan kapitalisme yang
menghegemoni sektor pendidikan di Indonesia telah berhasil diruntuhkan. Tinggal bagaimana
wabah Corona ini dijadikan momentum untuk mengadaptasi diri dengan sistem daring.
Sambil berjalannya waktu, pemerintah dapat mengatasi ketidaksiapan dalam hal pemenuhan infrastruktur
listrik, internet dan
berbagai perangkat pendukung pembelajaran daring hingga ke pelosok negeri. Praktik pendidikan daring
dapat dijalankan di wilayah-wilayah yang sudah
siap terlebih
dahulu. Selain menstimulus sistem pembelajaran daring, penerapan berjenjang ini juga dijadikan alat ukur untuk menghitung plus dan minus dari pembelajaran
daring. Momentum ini harus kita
rebut agar
kemenangan ada di tangan masyarakat umum, bukan di tangan borjuasi.
Seperti yang dikatakan oleh Che Guevara, "Revolusi bukanlah sebuah apel yang
jatuh ketika sudah matang.
Anda
harus membuatnya jatuh."
Lalu
bagaimana dengan gaji para guru? Bagaimana dengan
standarisasi penilaian
murid?
Untuk menjawab ini agaknya kita perlu belajar dari platform pembelajaran online zenius.net yang sejak tahun 2010 telah memberikan banyak fitur pembelajaran online secara gratis. Atau
bisa belajar
dari platform
digital Indonesia
yang
digerakkan oleh para
pakar pendidikan Indonesia baru-baru ini secara crowdfunding untuk mendemokratisasi pendidikan di Indonesia. Tanyakan pada mereka bagaimana mereka dapat membayar para tutor
dan menghidupi aktivitas
platformnya. Mereka saja berhasil, kenapa kita ragu?
0 Komentar